Jumat, 15 April 2011

Filsafat Sejarah Karl Marx


BAB I
PENDAHULUAN
I . Latar Belakang Masalah
Pandangan materialis sejarah banyak difahami salah, baik oleh kaum marxis sendiri maupun oleh lawan- lawan mereka. Kata yang paling menyesatkan ialah kata “materialis” karena itu Marxisme sering disebut sebagai salah satu bentuk materialism. Bukan hanya oleh yang anti materialis, Engels pun demikian. Padahal diseluruh karya Marx hampir tidak diketemukan uraian apapun tentang materialisme, yaitu sebagai anggapan bahwa realitas terakhir alam semesta adalah materi. Alam semesta tidak pernah dipersoalkan oleh Marx. Marx hanya bicara tentang mesyarakat, dan dalam hubungan ini “ materialism” hanya berarti bahwa kegiatan pekerjaan jasmaniah atau produksi adalah kegiatan dasar manusia dan bukan pemikirannya. Maka, untuk dapat mengerti mengapa Marx begitu mempesonakan banyak orang sampai sekarang, perlu kita membebaskan diri dari anggapan yang simplistic dan berusaha untuk menemukan isi rasionilnya.
Dalam materialism historis diungkapkan bahwa manusia hanya dapat dipahami selama ia ditempatkan dalam konteks sejarah. Manusia pada hakekatnya adalah insan sejarah. Selanjutnya bila diandaikan bahwa sejarah terpatri dalam peristiwa-peristiwa masyarakat, maka seyogyanya pada saat sama sejarah juga diletakkan dalam keterkaitannya dengan masyarakat. Manusia sebagai pemangku sejarah tidak lain hanyalah keseluruhan relasi-relasi masyarakat. [1])
Harapan Marx sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan para sosialis prancis, bahkan dari para filosof pencerahan, yakni menuju masyarakat yang lebih adil dan mencapai kebebasan bagi manusia seluruhnya. Akan tetapi Marx selalu menentang faham kebebasan yang difahami oleh liberalisme dan individualism yang didukung oleh para filosof prancis dan inggris. Selama masyarakat masih terkotak-kotak dalam kelas-kelas, kebebasan yang didengungkan hanyalah dalih-dalih untuk menutupi sistem yang menindas, sebab selama ada institusi hak milik privat atas alat produksi, kelas pekerja tetap tergantung pada pemilik modal. Keprihatinan dasar Marx sebagai seorang filosof humanis sebenarnya adalah bagaimana cara menghapus alienasi dan mengemansipasi masyarakat seluruhnya. [2]


[1] Dalam pandangan Marx manusia harus selalu dipahami dalam kerangka struktur yaitu suprastruktur dan basicstruktur. Suprastruktur merupakan cermin kristalisasi lapisan bawah yang didalamnya memuat bidang sosial, politik, budaya, agama, filsafat dan kesenian. Sedangkan penggerak dari suprastruktur diatas adalah sistem ekonomi. Jadi basis gerak masyarakat dikembalikan pada kondisi material. Marx melukiskan keterhubungan kondisi material kehidupan manusia dan ide-ide yang turut serta dengannya lewat kalimat “it is not the consciousness of men, that the determines their being, but on the contrary, their social being that determines their consciousness” Andi Muawiyah Ramly, peta pemikiran Karl Marx…hal 133.
[2] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern…hal 239.


2. Rumusan masalah.
Setelah menganalisis latar belakang masalah di atas masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana konsep filsafat sejarah dalam pandangan karl marx?
2.      Bagaimana latar balakang kemunculan filsafat sejarah karl marx?
3.      Kritik terhadap filsafat sejarah karl marx.

BAB II
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN FILSAFAT SEJARAH KARL MARX
Pemikiran Marx tidak terlepas dari situasi yang terjadi pada abab 18 dan 19 yaitu perkembangan industri sebagai dampak dari Revolusi Industri yang diawali di Inggris.[3]) Marx melihat ada ketidakberesan dalam masyarakat yang dijumpainya karena muncul muncul ketidakadilan dan manusia terasing dari dirinya sendiri. Keterasingan ini sebagai dampak dari hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Hak milik atas alat-alat produksi ini menjadikan perbedaan kelas antara kelas atas kelas bawah. Bentuk struktur dan hubungan yang terjadi dalam bidang ekonomi ini dicerminkan dalam dalam struktur kekuasaan di bidang sosial-politik dan ideologi.
Munculnya kelas-kelas sosial dan hak milik atas alat-alat produksi disebabkan karena usaha manusia untuk mengamankan dan memperbaiki keadaan hidup. Usaha ini dilakukan dengan pembagian kerja yang semakin spesialis. Pembagian yang semakin spesialis inilah yang akhirnya membuat perbedaan tajam antara hidup sesorang yang berada di kelas atas ( karena dia menguasai alat-alat produksi sehingga tidak perlu bekerja tapi memperoleh penghasilan yang tinggi) dan kelas bawah ( ketiadaaan kepilikan alat-alat produksi memaksa kelas bawah/pekerja bekerja keras untuk bertahan hidup ).
Menurut Marx, pembebasan manusia dari keteransingannya ini dapat tercapai apabila hak milik pribadi atas alat-alat produksi dihapus. Dengan demikian tercipta keadaaan tanpa hak atas milik pribadi ( sosialisme). Namun penghapusan ini tidak dapat dilakukan begitu saja. Sebagaimana hak milik atas alat-alat produksi muncul dari perkembangan historis, maka penghapusan ini tergantung pula pada syarat-syarat /hukum-hukum objektif. Maka. Marx melakukan penelitian syarat-syarat objektif penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi dan sosialisme. Dari latar belakang inilah akhirnya terbentuk sistem filsafat Marx yang dikenal sebagai materialisme sejarah


[3] Sebenarnya yang sangat berpengaruh membentuk konsep Karl Marx tentang filsafat sejarah adalah Hegel. Disamping hegel meninggalkan karangan tentang filsafat sejarah, konsep sejarah Hegel yang dimulai dari Roh absolute hingga manifestasi roh absolute pada rasionalitas manusia sampai dengan tatanan sejarah yang rasional dan kebebasan manusia sangat mempengaruhi pembagian fase sejarah Marx mulai komunal primitive sampai masyarakat komunis. F. Magnis Suseno, Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme…hal 9.


BAB III
FILSAFAT SEJARAH KARL MARX
Karl Heinrich Marx ( 1818-1883) adalah filosof Jerman yang pemikirannya telah menjadi inspirasi dasar “ Marxisme” sebagi ideologi perjuangan kaum buruh, yang menjadi komponen inti dari ideologi komunisme pemikiran Marx juga telah menjadi salah satu rangsangan besar bagi perkembangan sosiologi, ilmu ekonomi dan filsafat kritis. Pemikiran Mark tidak hanya tinggal diam di wilayah teori, melainkan ideologi yang di kenal ideologi Marxisme dan komunisme. Ideologi ini dalam sejarah telah menjadi kekuatan sosial politik. Dalam sejarah filsafat barat hanya Marx yang mengembangkan sebuah pemikiran yang pada dasar filosofis namun kemudian menjadi teori perjuangan gerakan pembebasan. Motor perubahan dan perkembangan menurut Karl Marx adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial, bukan oleh individu-individu tertentu. Maka menurut Marx tidak tepat jika sejarah di pandang sebagai hasil tindakan raja-raja dan orang-orang besar lainya.
Apa yang di putuskan dan di usahakan oleh orang-orang besar yang dikenal dari buku-buku sejarah popular, meskipun tidak pernah tanpa kepentingan atau cita-cita. Dalam garis besarnya selalu akan bergerak dalam rangka kepentingan kelas mereka serta mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas dalam masyarakat yang bersangkutan.
Tiga tahap filsafat sejarah Marx menggambarkan pola “ satu langkah ke belakang, dua langkah ke depan”. Komunitas-komunitas primitif harus di hancurkan terlebih dahulu sebelum satu komunitas bisa di buat lagi pada tingkat yang lebih sempurna. Materialisme histories menekankan bahwa tahap-tahap berurutan dalam penghancuran ini juga sebagai tenggang waktu. Ketika para produsen dengan cepat terpisah dari sarana-sarana produksi mereka, maka kerja mereka semakin produktif. Pemisahan ini berlangsung sangat ekstrim dalam kapitalisme yang notabene juga salah satu tahap dimana perkembangan kekuatan-kekuatan produksi mencapai tingkat yang paling tinggi.
Marx membedakan fase perkembangan masyarakat :
  1. Tahap pertama : Adalah masyarakat komunal primitif sebelum pembagian kerja dimulai.
  2. Tahap kedua-yang masih berlangsung : adalah tahap pembagian kerja sekaligus tahap kepemilikan hak pribadi dan hak keterasingan.
  3. Tahap ketiga : adalah tahap kebebasan yaitu apabila hak milik pribadi telah di hapus.
Jadi system hak milik pribadi bukan sebuah “ kecelakaan” melainkan tahap yang pasti dalam perjalanan umat manusia ke tahap kebebasan. Tahap hak milik pribadi tidak dapat di hindari karena pembagian kerja juga tidak bisa dihindari. Hanya melalui pembagian kerja umat manusia dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Maka meskipun keterasingan manusia dinilai negative, tetapi keterasingan tersebut merupakan tahap yang harus dilalui oleh umat manusia.
Menurut Marx masyarakat masa depan yang di idealkan adalah komunisme. Seperti yang di kutip oleh Fromm dalam Manuskrip II, Marx menegaskan bahwa : komunismne merupakan penghapusan kepemilikan pribadi secara positif yang merupakan apresrasi nyata dari watak manusia melalui dan untuk manusia. Komunisme pengembalian manusia sebagai makluk sosial yaitu pengembalian yang lengkap dan sadar yang mencampurkan semua kekayang dan perkembangan sebelumnya. Komunisme sebagai naturalisme yang paling maju adalah humanisme, dan humanisme yang paling maju adalah naturalisme. Tentang struktur mana yang mendukung atau memajukan kebebasan tindakan mereka semua.
Sejarah dalam pandangan karl marx bersifat progres/linier.[4]) Disebutkan dalam manifesto komunis bahwa sejarah umat manusia dulu dan kini adalah merupakan sejarah pertentangan kelas dimana motor perubahan dan perkembangan masyarakat adalah pertentangan antar kelas.[5]) Fase perkembangan sejarah masyarakat menurut Marx dimulai dari mesyarakat komunal primitive, masyarakat feodal, masyarakat yang sistemnya kapitalisme, masyarakat sosialis dan terakhir adalah masyarakat komunis.[6]


[4] Pemikiran ini sangat dipengaruhi ileh hegel. Hegel memahami sejarah sebagai gerak ke arah rasionalitas dan kebebasan yang makin besar. F. Magnis suseno, pemikiran Karl Marx, dari sosialisme utopis…hal 58.
[5] Menurut marx yang menentukan jalannya sejarah bukan individu- individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial yang masing-masing mamperjuangkan kepentingan mereka. Kepentingan mereka bukan apa yang kebetulan diminati oleh orang-orang tertentu, melainkan ditentukan secara obyektif oleh kedudukan kelas masing-masing dalam proses produksi. F Magnis suseno, pemikiran karl marx, dari sosialisme utopis…hal 125.
[6] Marx melihat bahwa dari lima tahap perkembangan sejarah yang dihampiri lewat analisis ekonomi itu, ditemukan adanya dua factor kunci yang mendasari segala proses didalamnya. Pertama adalah kekuatan produksi (orang, alat, bahan baku, pengalaman, teknologi). Yang kedua adalah  hubungan produksi (antar individu dengan individu juga antara individu dengan alam). F. Magnis suseno, Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme, Jakarta : Diktat STF Driyarkara, 1977…hal 25-26.  


Marx mengemukakan bahwa yang menentukan perkembangan masyarakat bukanlah kesadaran masyarakat, bukanlah apa yang dipikirkan masyarakat tentang dirinya tetapi keadaan riil masyarakat itu sendiri, kondisi dan situasi hidup masyarakat. Jadi bukan sesuatu yang abstrak yang ada ditataran kepala, yang bayangkan, dicita-citakan, tapi fakta-fakta /keadaan yang ada , proses hidup yang nyata. Cara manusia menghasilkan apa yang dibutuhkan untuk hidup itulah yang disebut keadaan masyarakat. Dengan demikian, keadaan masyarakat selain mempengaruhi perkembangan masyarakat juga mempengaruhi kesadaran masyarakat itu sendiri.
Keadaan masyarakat yang dimaksud adalah produksi dan pekerjaan manusia. Manusia ditentukan oleh produksi, baik hasil produksinya maupun cara berproduksi. Pandangan inilah yang disebut materialisme, yang berarti kegiatan dasar manusia adalah kerja manusia. Dalam hal ini pandangan Marx menerima Feurbach [7]) bahwa kenyataan terakhir adalah objek indrawi dalam pengertian objek indrawi ini dipahami sebagai kerja atau produksi. Namun perbedaan dari Feurbach adalah dunia indrawi yang mengelilinginya itu bukan sesuatu yangada begitu saja, melainkan alam merupakan produk dari industri dan masyarakat dalam arti alam adalah produk dari sejarah.
Kata meterialisme yang digunakan Marx bukanlah dalam arti filosofis sebagai kepercayaan bahwa hakekat seluruh realitas adalah materi, melainkan ia ingin menunjukan pada faktor-fakor yang menentukan sejarah yang terdapat dalam produksi kebutuhan manusia. Seperti dalam penjelasan sebelumnnya faktor-faktor ini mengacu pada keadaan manusia.
Istilah sejarah mengacu pada Hegel [8]) sebagai proses dialektis diterima Marx. Akan tetapi terdapat perbedaan pengertian. Sejarah dalam pengertian Marx adalah perjuangan kelas-kelas untuk mewujudkan kebebasan, bukan perihal perwujudan diri Roh, bukan pula tesis–anti tesis Roh Subjektif –Roh Objektif melainkan menyangkut kontradiksi-kontradiksi hidup dalam masyarakat terutama dalam kegiatan ekonomi dan produksi. [9]) Jadi untuk memahami manusia dan perubahannya tidak perlu memperhatikan apa yang dipikirkan oleh manusia melainkan melihat segala hal yang berkaitan dengan produksi.
Begitu pula dengan kesadaran dan cita-cita manusia ditentukan oleh keadaannya dalam masyarakat dalam hal ini kedudukannya dalam kelas sosial. Sebagai contoh kaum buruh ( kelas proletar). Ketiadaan atas kepemilikan alat-alat produksi membuat buruh secara historis terpaksa tidak punya banyak pilihan bertindak. Tujuan dan kegiatan historisnya telah digariskan dalam keadaan hidupnya yang “bergantung” dari kemauan kelas pemilik alat-alat-produksi. Karena keadaan ini, cara produksi menentukan cara manusia berpikir. Dalam hal ini, cara berpikir buruh karena bergantung pada kelas atas adalah bagaimana untuk dapat bertahan hidup ( survive ). Sedangkan pada kelas atasnya adalah untuk menguasai sebanyak-banyak alat produksi. Dari hal tersebut dapat ditarik beberapa hal. Pertama, cara berproduksi menentukan adanya kelas-kelas sosial. kedua, anggota dalam kelas sosial menentukan kepentingan orang. ketiga, kepentingan menentukan apa yang dicita-citakan, apa yang dianggap baik buruk


[7] Menurut Feurbach, kenyataan indrawi yang konkret adalah Alam Material.Alam adalah dasar dasar terakhir dari kenyataan. Artinya serluru kenytaan dapat dikembalikan pada Alam Material sebagai sebagai kenyataan terakhir. F. Budi Hardiman, , Filsafat Barat Modern, Jakarta : Gramedia 2004 hlm 228.
[8] Hegel mengatakan bahwa sejarah adalah realitas, sebagai keseluruhan dan tidak terikat localitas. Proses Roh yang absolut menyadari dirinya sendiri. Roh absolut ini ketika telah memanifestasi ke alam lalu menemukan dirinya dalam rasionalitas manusia. Dalam masyarakat terjadi proses dialektis antar individu sehingga timbil kesadaran rakyat (volkgeist) totalitas dari volkgeist (seni, budaya, moralitas, pengetahuan manusia) memanifestasi pada negara. Pertarungan antar negara adalah suatu proses yang harus dilalui untuk terciptanya tatanan dunia (weltgeist). Melalui krisis dan kontradiksi sejarah ini, roh akhirnya menjadi mengenali dirinya kembali. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern...hal 192.
[9] F. Budi Hardiman, , Filsafat Barat Modern, Jakarta : Gramedia 2004 hlm 240


Jika keadaan menentukan cita-cita dan kesadaran, maka bagi Marx, hidup rohani,agama, moralitas, nilai-nilai budaya , dll bersifat sekunder . Hal-hal tersebut bersifat primer karena hanya mengungkapkan keadaan primer, struktur kelas masyrakat dan pola produksi. Jika kita mengharapkan perubahan dalam masyarakat maka yang diperlukan adalah perubahan dalam cara produksi. Perihal hubungan lingkup kehidupan manusia ini dapat dibayangkan sebuah bangunan yang terdiri dari basis dan bangunan atas.
a. Basis/Dasar
Basis ( unterbau)ditentukan dua faktor. Pertama, tenaga-tenaga produktif yaitu kekuatan-kekuatan yang dipakai oleh masyarakat untuk mengerjakan dan mengubah alam. Ada tiga unsur yang termasuk tenaga-tenaga produktif: alat-alat kerja, manusia dan kecakapan yang dimiliki, dan pengalaman produksi. Kedua, hubungan-hubvungan produksi yaitu, hubunagn kerja sama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Hubungan-hubungan ini dalam pengertian struktur pengorganisasian sosial produksi. Misalkan pemilik modal dan pekerja. Hubungan-hubungan produksi selalu berupa hubungan kelas ( struktur kelas ). Karena struktur kelas ditentukan atas hak milik atas alat-alat produksi maka hubungan produksi ditentukan oleh hal yang sama juga.
Hubungan-hubungan produksi dalam basis selalu berupa struktur kekuasaan ekonomis. Hubungan produksi ditandai dengan fakta bahwa alat-alat produksi dikuasi oleh pemilik. Maka konflik antar kelas mewarnai hubungan dalam basis.
Selain itu, hubungan-hubungan produktif ditentukan oleh tingkat perkembangan tenaga produktif, tidak tergantung pada kemauan orang tetapi pada tuntutan objektif produksi. Sedangkan alat-alat kerja dikembangkan bukan menurut selera manusia melainkan di bawah tekanan produksi untuk semakin efisien. Jadi tingkat perkembangan produksi berdasarkan insting /naluri manusia untuk mempertahankan hidup.
b. Banguanan Atas
Bangunan atas (unberbau)terdiri dari dua unsur. Pertama, tatanan institusional yaitu: segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar bidang produksi, semisal sistem negara dan hukum. Kedua, tatanan kesadaran kolektif memuat segala kepercayaan, norma-norma, dan nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna, dan orientasi spiritual kepada manusia. Semisal pandangan budaya, seni, agama, dan filsafat.
Menurut Marx, Institusi-institusi, agama, moralitas, dll ditentukan oleh struktur kelas dalam masyarakat dan negara selalu mendukung kelas atas dan agama serta sitem lainnya memberi legitimasi atas kekuasaan kelas atas. Dengan kenyataan bahwa bidang produksi ( kekuasaan di bidang ekonomi ) dikuasai oleh pemilik alat-alat produksi maka, struktur-struktur kekuasaan politis dan ideologis dientukan oleh struktur hak milik juga. Inilah yang dimaksudkan dalam basis dan bangunan.
Melihat realita dilapangan memang demikian. Mereka yang berkuasa dalam ekonomi adalah pemilik modal (alat-alat produksi). Selain mereka menguasai ekonomi, ideologi dan politik pun mereka kuasai. Kepercayaan-kepercayaan dan sistem nilai semisal feodal atau ajaran yang diberikan para pemimpin agama menjadi sumber legitimasi bagi kekuasaan kelas atas.
Ketegangan antara kekuatan produksi yang terus berkembang seiring dengan tututan efisiensi dalam produksi dengan pola hubungan konservatif kelas atas dan bawah (kedudukan yangtidak seimbang) akhirnya membawa pada revolusi. Revolusi ini tidak disebabkan oleh negara sebagai agen perubahan. Dengan keberpihakan negara pada kelas atas maka negara tidak dapat diharapkan menjadi agen perubahan. Kelas bawahlah yang menjadi agen perubahan bagi dirinya sendiri. Usaha pertentang kelas bawah inilah yang dinamakan perjuang kelas, motor kemajuan sejarah.
Kelas bawah dapat melakukan perjuangnnya walau mendapatkan penindasan kelas atas karena perkembangan tenaga-tenaga produktif. Kepentingan ekonomi kelas penguasa untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya menjadi dorongan kelas penguasa untuk melakukan perbaikan, perluasan produksi serta rasionalisasi, efisiensi cara produksi yang pada akhirnya meningkatkan kemampuan tenaga produksi ( buruh /kelas bawah). Kemampuan yang terus bertambah ini akhirnya mendorong mereka untuk bersatu dan melakukan perlawanan. Sedangkan struktrur kekuasaan ekonomis tidak berkembang terlebih dengan usaha dari masing-masing anggota tiap kelas untuk memiliki kekuasaan sebesar-besarnya. Akhirnya beranjak dari situasi inilah revolusi terjadi dan kelas bawah dapat mengalahkan kelas atas.[10])


[10] . dalam sebuah teks karl Marx menyatakan “pada tahap tertentu perkembangannya tenaga-tenaga produksi material masyarakatbertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang adadengan hubungan-hubungan hak milik, didalamnya mereka sekarang bergerak. Dari bentuk-bentuk pengembangan tenaga produktif, hubungan ini sekarang berubah menjadi belenggu-belenggunya. Mulailah suatu tahap revolusi sosial. Dengan perubahan dasar ekonomis seluruh bangunan atas raksasa itu dijungkirbalikkan dengan lebih lambat atau lebih cepat”. F. Magnis suseno, Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme, Jakarta : Diktat STF Driyarkara, 1977…hal  25


BAB IV
KRITIK TERHADAP FILSAFAT SEJARAH KARL MARX
Banyak yang mengkritisi bahwa pemikiran Karl Marx tentang sejarah tidak tepat ketika di kontekskan dengan corak masyarakat selain eropa khususnya dengan corak masyarakat indonesia. Ketika kita menganalisis masyarakat dunia saat ini terutama pasca krisis ekonomi global 2007- 2008, seolah konsep kontradiksi Marx dalam sistem masyarakat kapitalis dan keruntuhan tatanan kapitalisme global menjadi nyata adanya. Kontradiksi- kontradiksi pasca krisis besar dan depresi ekonomi yang sekarang masih terjadi di eropa dan amerika serikat sekarang adalah pemantik diciptakannya sistem ekonomi global yang lebih Humanis.
Hal yang paling fundamental ketika merelevansikan pemikiran Karl Marx dengan konteks kekinian adalah pembacaannya tentang fase peralihan masyarakat. Dalam pengantar Das Kapital jilid pertama karl Marx mengatakkan bahwa ketika volume Das Kapital ini selesai banyak ilmuan jerman mengatakan bahwa sistem kapitalisme di Inggris yang diceritakan dalam Das Kapital tidak terjadi di negera Jerman, tapi Karl Marx menyatakan bahwa fase itu juga akan dilalui oleh Jerman. Indonesia, dimana pada tahun 1850-an masih sangat feodal, pada tahun 1900-an fase perkembangan masyarakatnya mulai memasuki fase masyarakat kapitalis. Dan saat ini fase masuknya sistem kapitalisme sudah memasuki tahap penuh di indonesia. Salah satu ciri dari masuknya sistem kapitalis di indonesia adalah beralihnya logika komunal menjadi logika jual beli, permintaan dan penawaran.
Apakah revolusi yang diramalkan karl marx ketika ada kontradiksi akan terjadi?. Fase peralihan dari sistem kapitalisme ke sosialisme menurut karl marx adalah keniscayaan.tesis ini berimplikasi bahwa perjuangan kelas dalam masyrakat pasti niscaya juga akan terjadi. Keniscayaan dalam sejarah berati sebuah evolusi masyarakat. Karl marx mengatakan setiap fase sejarah tidak bisa dilompati, misalnya dari fase feodal menuju fase sosialis, melainkan harus melalui fase kapitalisme lalu menuju sosialisme. Karena dalm teorinya karl marx perubahan sejarah terjadi karena  faktor perubahan alat produksi. Fase perubahan masyrakat tidak bisa dilompati tetapi bisa dipercepat atau diperlambat. Ciri- ciri masuknya fase kapitalis menuju sosialis bisa dilihat dari sistem negara kesejahteraan seperti yang terjadi di Eropa, misalnya jaminan kesehatan, tunjangan –tunjangan sosial untuk masyrakat. revolusi hanya akan terjadi ketika sistem kapitalisme sudah mutlak terjadi diseluruh dunia dan kontradiksi tidak bisa diatasi kecuali melibatkan seluruh masyrakat dunia.

Daftar Pustaka
Copleston, Federick, A History of Philosophy Volume: VII, New York : Image Books, 1994
Hardiman, F. Budi, Filsafat Barat Modern, Jakarta : Gramedia, 2004
Hardiman, F. Budi, Filsafat modern, dari machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta : Gramedia, 2007.
Ramly, Andi Muawiyah, Peta pemikiran Karl Marx, Materialisme dialektis dan materialisme historis, yogyakarta : LkiS, 2009.
Suseno, F. Magnis, Pemikiran Karl Marx, Jakarta : Gramedia, 1999
Suseno, F. Magnis, ringkasan sejarah marxisme dan komunisme, Jakarta: Diktat mahasiswa STF driyarkara, 1977.

Pemikiran Thomas Kuhn


 BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah.
Selama hampir satu abad, sampai terjadinya perang Dunia I, ilmu secara nyaris universal telah dipandang dengan kacamata heroik. Para ilmuwan berjuang sendirian untuk mencari kebenaran. Ilmu adalah aktivitas yng murni dan otonom, terlepas dari teknologi dan industry serta mengatasi atau melampui masyarakat. Kemurnian penelitian ilmiah secara khusus ditegaskan di Universitas-universitas dimana riset dilakukan dan demi pegetahuan dan dimana generasi para ilmuwan masa depan dididik. Namun kendati ilmu tetap murni sepanjang zaman, tetap saja terdapat kesalahan-kesalahan yang harus dikoreksi.
Tapi tidak semua meyakini akan kemurnian ilmu.[1] Ernst Mach (1838-1916) fisikawan dan filosof ilmu, dalam beberapa dasawarsa menjelang Perang Dunia I, ketika para ilmuwan fisika terlibat dalam industry dan militer, ia justru membela ilmu yang tepat guna untuk memenuhi kebutuhan manusia. Mach ditentang oleh Max Planck (1858-1947) fisikawan  Jerman yang mendukung idealitas ilmu yang lebih otonom. Perdebatan mereka memunculkan banyak isu epistemology dan politik yang penting, dan isu yang paling bertahan diantaranya adalah yang memandang realism bertentangan dengan instrumentalisme dalam filsafat ilmu.
Dalam perdebatan antara murni dan tidaknya sebuah pengetahuan dari kekuasaan dan ideology inilah Thomas S. Kuhn turut serta dalam kancah polemic ini. Karya monumentalnya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution banyak mengubah persepsi orang terhadap ilmu. Jika sebagian orang mengatakan bahwa pergerakan ilmu adalah bersifat linier- akumulatif, maka tidak demikian dengan pandangan Kuhn. Menurut Kuhn, ilmu bergerak melalui tahapan-tahapan yang akan berpuncak pada kondisi normal dan kemudian membusuk karena telah tergantikan oleh ilmu atau paradigm baru. Demikian seterusnya, paradigm baru mengancam paradigm lama yang sebelumnya juga menjadi paradigm baru. Sehingga terjadilah proses benturan antar paradigma. Banyak orang menganggap bahwa ilmu adalah bebas nilai tetapi menurut Kuhn ilmu sagat terkait erat pada paradigm subyektif ilmuwan. Belum lagi keterkaitan ilmu dengan kekuasaan dan mengabdi pada kekuasaan ataupun ideologi dari masing-masing ilmuwan ketika menganalisis atau menyajikan sebuah tesis.
Rumusan Masalah  
Setelah membaca persoalan ilmu pengetahuan dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, makalah ini selain membicarakan tentang riwayat hidup Thomas Kuhn juga membahas tentang Paradigma ilmu dalam perspektif Thomas Kuhn dan lebih terfokus pada pembahasan terhadap konsep Paradigma ilmu ini.  


[1] Perang dunia satu mengungkap kelemahan teknologi kekaisaran inggris dan membuka kemungkinan campur tangan pemerintah secara langsung terhadap manajemen ilmu. Monopoli universitas sebagai lembaga riset pun runtuhketika lembaga-lembaga baru didirikan dengan dana pemerintah maupun swasta. Banyak para cendekiawan terutama yang berpandangan Marxis menyatakan ada hubungan antara ilmu dengan ekonomi. Hubungan atara ilmu dan ideology menjadi eksplisit ketika pada tahun 1931 diadakan konferensi tentang sejarah ilmu yang diselenggarakan di London mengundang Delegasi dari Uni soviet. Point terpenting dari konferensi ini adalah makalah yang ditulis oleh Boris Hessen tentang akar-akar social dan ekonomi dalam Principia Newton. Hessen menyatakan bahwa karya besar Newton bukan produk dari kejeniusan ilmiah atau logika internal ilmu, melainkan konsekuensi dari kekuatan-kekuatan social ekonomi pada abad 17 di Inggris. Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002…hal  9-10.  


BAB II
BIOGRAFI THOMAS S. KUHN
Thomas Samuel Kuhn lahir di Cicinnati, Ohio pada tanggal 18 juli 1922. Kuhn lahir dari pasangan Samuel L, Kuhn seorang Insinyur industri dan Minette Stroock Kuhn. Dia mendapat gelar B.S di dalam ilmu fisika dari Harvard University pada tahun 1943 dan M.S. Pada tahun 1946. Kuhn belajar sebagai fisikawan namun baru menjadi pengajar setelah mendapatkan Ph.D dari Harvard pada tahun 1949. Tiga tahunnya dalam kebebasan akademik sebagai Harvard Junior Fellow sangat penting dalam perubahan perhatiannya dari ilmu fisika kepada sejarah (dan filsafat) ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard sebagai asisten profesor pada pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden Universitas James Conant.
Setelah meninggalkan Harvard dia belajar di Universtitas Berkeley di California sebagai pengajar di departemen filosofi dan sains. Dia menjadi profesor sejarah ilmu pada 1961. Di berkeley ini dia menuliskan dan menerbitkan bukunya yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution pada tahun 1962. Pada tahun 1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton pada tahun 1964-1979. Kemudian di MIT sebagai professor filsafat. Tetap di sini hingga 1991. Jadi Thomas Kuhn tumbuh ketika ilmu telah terindustrialisasikan dan telah ditransformasikan menjadi karir dari pada pengabdian. Pada tahun 1994 dia mewawancarai Niels Bohr sang fisikawan sebelum fisikawan itu meninggal dunia. Pada tahun 1994, Kuhn didiagnostik dengan kanker dari Bronchial tubes. Dia meninggal pada tahun 1996 di rumahnya di Cambridge Massachusetts. Dia menikah dua kali dan memiliki tiga anak. Kuhn mendapat banyak penghargaan di bidang akademik. Sebagai contohnya dia memegang posisi sebagai Lowel lecturer pada tahun 1951, Guggeheim fellow dari 1954 hingga 1955, Dan masih banyak penghargaan lain.
Pada suatu hari yang panas Thomas Samuel Kuhn sedang membaca sebuah buku Aristoteles di kamarnya. Ada sesuatu hal yang tidak dimengertinya, kenapa Aristoteles begitu brilian dalam ilmu lain tapi begitu bingung mengenai gerak. Tiba-tiba dia mendapat sebuah Ide. Sebuah pemahaman baru mengenai Science. “Saya menerawang keluar dari jendela kamarku. Tiba-tiba kepingan-kepingan dalam kepalaku tiba-tiba membentuk dirinya dalam cara yang baru, dan jatuh ditempatnya bersama-sama. Aku ternganga.” 

BAB III
PARADIGMA ILMU DALAM PERSPEKTIF THOMAS S. KUHN
Dengan diterbikannya Structure of scientific revolution pada tahun 1962,[2] Thomas Samuel Kuhn mengawali sebuah zaman baru dalam memahami ilmu. Dalam pengantarnya untuk structure ia menguraikan: 
“Keikutsertaan yang menguntungkan dalam sebuah kuliah eksperimental dalam perguruan tinggi yang mengajarkan ilmu fisika untuk mereka yang bukan ilmuwan memungkinkan perjumpaan pertama saya dengan teori dan praktek ilmiah yang telah kadaluwarsa sehingga meruntuhkan secara radikal sejumlah konsepsi dasar saya tentang hakikat ilmu serta sebab-sebab keberhasilannya yang istimewa. Konsepsi-konsepsi itu adalah apa yang sebelumnya saya simpulkan untuk sebagian dari pelatihan ilmiah itu sendiri dan sebagian minat sampingan saya yang telah yang telah lama terhadap filsafat ilmu. Tetapi apapun manfaat pedagogisnya dan nilai abstraknya, anggapan-anggapan itu tidak sepenuhnya sesuai dengan upaya yang ditunjukkan oleh kajian sejarah. Namun anggapan-anggapan itu  telah dan masih bersifat fundamental bagi pembebasan yang manapun tentang ilm, dan ketidaksesuaiannya tampak benar-benar perlu diselidiki. Hasilnya adalah pergeseran secara drastis dari fisika menuju sejarah ilmu, dan kemudian secara berangsur-angsur dari masalah-masalah kesejarahan yang secara relatif bersifat langsung kembali kepada perhatian-perhatian yang lebih filosofis yang semula mengarahkan perhatian saya terhadap sejarah”.


[2] Ketika pertama kali diterbitkan, Structure memicu sejumlah besar kontroversi. Reaksi dari para ilmuwan tidak mengejutkan, bagaimanapun Kuhn telah meruntuhkan anggapan yang telah diterima tentang ilmuwan sebagai pencari kebenaran dan interogator alam dan realitas yang heroic, berpikiran terbuka dan babas kepentingan. Dan sebagimana ditampilkan lewat parodi-parodi dalam karyanya, ia telah mereduksi ilmu menjadi  tak lebih dari periode-periode panjang aktivitas konformis yang membosankan, yang diselingi dengan munculnya irasional. Namun para filosof ilmupun terlampau memusuhi Kuhn, karena mereka hingga saat ini merasa bertanggung jawab untuk menghasilkan penjelasan-penjelasan tentang hakikat penelitian dan kemajuan ilmiah. Penjelasan Kuhn nyaris tak diakui dibandingkan produk mereka yang telah diformalisasikan dan diidealisasikan. Perbandingan-perbandingannya dengan dengan teologi, perubahan agama dan revolusi politik menakutkan bagi para ilmuwan maupun para filosof ilmu. Para filosof juga memandang bahwa relativisme Kuhn sangat mencemaskan. Dalam lingkungan sejarah dan filsafat ilmu, Structure digambarkan sebagai tidak rasional, nkering dan rancu. Namun pada Akhirnya tahun 1960, Structure mulai diterima sebagai karya revolusioner dalam filsafat ilmu. Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu, Yogyakarta:Penerbit Jendela, 2002.hal 30-31.    


Kuhn memandang ilmu dari perspektif sejarahwan professional tertentu. Ia mengeksplorasi tema-tema yang lebih besar misalnya seperti apakah ilmu itu didalam prakteknya yang nyata dengan analisis kongkrit dan empiris. Didalam Structure ia menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja didalam pandangan dunia yang sudah mapan. Ilmu bukan merupakan upaya untuk menemukan obyektivitas dan kebenaran, melainkan lebih menyerupai upaya pemeecahan masalah didalam pola-pola keyakinanyang telah berlaku. Kuhn memakai istilah paradigma untuk menggambarkan system keyakinan yang mendasari upaya pemecahan  teka-teki didalam ilmu.[3] Dengan memakai istilah paradigma, tulisnya, “saya bermaksud mengajukan sejumlah contoh yang telah diterima tentang praktik ilmiah nyata-contoh-contoh yang meliputi hukum, teori, aplikasi, dan instrumentasi-yang menyediakan model-model yang  menjadi sumber tradisi ilmiah riset tertentu yang koheren. Inilah tradisi-tradisi yang oleh sejarah ditempatkan didalam rubric-rubrik seperti “Ptolemaic Astronomy atau Copernican, Aristotelian Dynamic atau Newtonian, corpuscular optic atau wave optic” dan sebagainya.
Istilah Paradigma berkaitan erat dengan ilmu normal.[4] Mereka yang bekerja didalam paradigma umum dan dogmatis, menggunakan sumber dayanya untuk menyempurnakan teori, menjelaskan data-data yang membingungkan, menetapkan ketepatan ukuran-ukuran standar yang terus meningkat dan melakukan kerja lain yang diperlukan untuk memperluas batas-batas ilmu normal.  
Dalam skema Kuhn, stabilitas dogmatis ini diselingi oleh revolusi-revolusi yang sesekali terjadi. Ia menggambarkan bermulanya ilmu revolusioner secara gamblang seperti yang ia nyatakan:
“ilmu normal…sering menindas kebaruan-kebaruan fundamental karena mereka pasti bersifat subversive terhadap komitmen-komitmen dasarnya…(namun) ketika profesi tak bisa lagi mengelak dari anomaly-anomali yang merongrong tradisi praktek ilmiah yang sudah ada..” 


[3] Dalam buku Structure Kuhn menyatakan “dengan memilih istilah ini saya bermaksud mengemukakan bahwa beberapa contoh praktek ilmiah nyata yang diterima-contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi-menyajikan model-model yang daripadanya lahir tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah. Tradisi-tradisi inilah yang oleh para sejarahwan dilukiskan dengan judul-judul seperti “astronomi Ptolomeus atau Copernican, dinamika Aristoteles atau Newton, Optika Korpuskular atau Optika gelombang dan sebagainya. Studi tentang paradigm-paradigma, termasuk banyak yang jauh lebih terspesialisasi daripada yang disebut sebagai illustrasi diatas, ialah yang terutama mempersiapkan mahasiswa bagi keanggotaannya dalam masyarakat Ilmiah tertentu, yang dengan latar itu ia akan melakukan praktek dikemudian hari. Karena disana ia bergabung dengan orang-orang yang trelah mempelajari dasar-dasar bagi bidang mereka dari model-model kongkret yang sama, maka prakteknya setelah itu akan jarang membangkitkan perselisihan yang jelas tentang berbagai fundamental. Orang-orang yang risetnya didasarkan atas paradigm bersama terikat pada kaidah-kaidah dan standar praktek ilmiah yang sama. Komitmen itu serta consensus yang jelas yang dihasilkan merupakan prasyarat bagi sains yang normal, yaitu bagi penciptaan dan kesinambungan tradisi riset tertentu”. Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005…hal 10.
[4] Kuhn menyatakan “Untuk memperlihatkan dengan jelas apa yang dimaksud dengan riset normal atau riset berdasarkan paradigma, baiklah saya coba mengklasifikasi dan mengilustrasikan masalah-masalah yang pada prinsipnya sains yang normal terdiri atas masalah-masalah tersebut. Untuk memudahkan, saya menangguhkan kegiatan teoritis dan memulai dengan pengumpulan fakta, yakni dengan eksperimen-eksperimen dan pengamatan yang diuraikan dalam berkala-berkala teknis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memberikan informasi tentang hasil-hasil riset mereka yang berkesinambungan pada rekan-rekan professional mereka. Aspek-aspek alam yang mana yang biasanya dilaporkan oleh para ilmuwan itu? Apa yang menentukan pilihan mereka? Dan karena kebanyakan pengamatan ilmiah itu memerlukan banyak waktu, perlengkapan, dan uang, apa yang memotivasi para ilmuwan untuk meneruskan pilihan itu sampai memperoleh kesimpulan?”..Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005  ..hal 24


Maka dimulailah investigasi diluar kelaziman. Suatu titik tercapai ketika krisis yang hanya bisa dipecahkan dengan revolusi dimana paradigma lama memberikan jalan bagi paradigma baru. Demikianlah ilmu revolusioner mengambil  alih. Namun apa yang sebelumnya pernah revolusioner itu sendiri akan mapan dan menjadi ortodoksi baru, ilmu normal yang baru. Jadi menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus ilmu normal diikuti oleh revolusi, lalu ilmu yang revolusioner menjadi mapa dan normal lalu diikuti oleh revolusi lagi. Setiap paradigma bisa menghasilkan karya khusus yang menentukan dan membentuk paradigm misalnya Physic karya aristoteles, Principia dan Optiks karya Newton serta Geology karya Lyell adalah contoh karya yang menentukan paradigma cabang-cabang ilmu tertentu pada suatu masa tertentu.
Berbeda tajam dengan  gambarann tradisional tentang ilmu sebagai penerimaan atas pengetahuan secara progressif, gradual dan kumulatif yang didasarkan pada kerangka eksperimental yang dipilih secara rasional, Kuhn menunjukka bahwa ilmu normal  sebagai upaya dogmatis. Jika kita menganggap teori ilmiah yang sudah ketinggalan seperti dinamika Aristotelian, kimia flogistis, dan termodinamika kalori sebagai mitos, menurut Kuhn kita bisa sama-sama bersikap logis untuk mengangggap teori-teori ini sebagai irrasional dan dogmatis:
“Jika keyakinan-keyakinan yang kadaluwarsa itu hendak disebut mitos-mitos, maka mitos-mitos itu bisa dihasilkan lewat jenis-jenis metode yang sama dan berlaku untuk jenis-jenis rasio yang sama yang kini mengarahkan pegetahuan ilmiah. Jika, dilain pihak, mereka hendak disebut ilmu, maka ilmu telah mencakup bangunan-bangunan keyakinan yang sangat tidak sesuaidengaan bangunan-bangunan yang kita percaya saat ini…(ini) menyulitkan kita untuk melihat perkembangan ilmiah sebagai proses akumulasi”.

Dalam seluruh buku ia mengguanakan contoh contoh historis untuk menjelaskan praktek masa kini, mengidentifikasi factor-faktor umum dan menekankan sifat cacat metode ilmiah. Demikianlah metode ilmiah- proses observasi, eksperimentasi, deduksi dan konklusi yang diidealisasikan- yang menjadi dasar kebanyakan klaim ilmu akan obyektivitas dan universalisme berubah menjadi ilusi. Kuhn menyatakan bahwa paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yag mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu, para ilmuwan bahkan tidak bisa mengumpulkan fakta. Dengan tiadanya paradigma atau calon paradigma tertentu, maka fakta yang mungkin sesuai dengan perkembanga ilmu tertentu tampaknya cenderung sama-sama relevan . akibatnya, pengumpulan fakta tahap awal, jauh lebih berupa kegiatan acak jika dibandingkan dengan kegiatan yang telah diakrabi dalam perkembanga ilmu yang lebih lanjut. Pergeseran paradigma mengubah konsep-konsep dasar yang melandasi riset dan mengilhami standar-standar pembuktian baru, teknik-teknik riset baru, serta jalur-jalur teori da eksperimen baru yang secara radikal tidak bisa dibandingkan lagi dengan yang lama.
Kebanyakan aktivitas ilmiah, menurut Kuhn berlangsung dalam rubric ilmu normal,[5] yakni ilmu yang kita jumpai dalam buku-buku teks dan yang mensyaratkan agar riset didasarkan pada satu pencapainya  ilmiah masa silam atau lebih, pencapaian-pencapaian yang diakui sementara waktu oleh komunitas ilmiah tertentu sebagai dasar bagi praktek selanjutnya. Ilmu yang restriktifdan bersifat pemecahan masalah secara tertutup ini memiliki kekurangan maupun kelebihannya. Disatu sisi ia memungkinkan komunitas ilmiah untuk mengumpulkan data berdasarkan satu basis sistematis dan secara cepat memperluas batas-batas ilmu.
Jika ilmuwan individual bisa menerima paradigma begitu saja, maka ia dalam karya-karya besarnya, tidak lagi memerlukan upaya untuk membangun  bidangnya secara baru, berangkat dari prinsip pertama dan menjustifikasi setiap konsep yang diajukan. Ttugas ini bisa diberikan kepada para penulis bbuku teks. Namun dengan tetap mengingat buku teks, ilmuwan yang kreatif bisa memulai risetnya dari tempat dimana riset itu telah berhenti dan dengan demikian memusatkan perhatian secara eksklusif pada aspek-aspek fenomena alam yag palig substil dan esoteric yang menjadi oerhatian kelompoknya.
Dilain pihak ilmu normal mengisolasi komunitas ilmiah dari segala sesuatu yang berada diluar komunitas itu. Masalah-masalah yang penting secara sosial, yang tak bisa direduksi menjadi bentuk pemecahan teka-teki, menurut Kuhn, dikesampingkan dan apapun yang berada diluar lingkup konseptual dan instrumental  paradigma itu dianggap tidak relevan.[6]      


[5] Dalam buku Structur Kuhn menyatakan “sains yang normal berarti riset yang dengan teguh berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu. Pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi pada praktek selanjutnya. Sekarang pencapaian-pencapaian itu diceritakan, meski jarang dalam bentuk aslinya, oleh buku-buku teks sains tingkat dasar dan tingkat lanjutan. Buku-buku teks ini menjelaskan secara rinci tubuh teori yang diterima, menerangkan banyak atau seluruh penerapan yang berhasil, dan membandingkan penerapan inidengan eksperimen dan pengamatan contoh. Sebelum buku-buku tersebut menjadi popular pada awal abad 19 (bahkan sampai akhir-akhir ini bagi sains-sains yang baru mapan) banyak dari buku-buku klasik yang termasyhur tentang sains yang memenuhi fungsi yang serupa. Physica karya Aristoteles, Almagest karya Ptolomeus, Principia dan Optic karya Newton, Electricity karya Franklin, nChemistry  karya Lavoisier dan Geology karya Lyell. Semua ini dan banyak karya lainnya pada suatu masa digunakan secara mutlak untuk menetapkan  masalah-masalah yang sah dan metode-metode bidang riset bagi generasi-generasi pemraktek selanjutnya. Mereka bisa berbuat demikian karena mereka sama-sama memiliki dua karakteristik yang essensial. Pencapaian mereka cukup baru, belum pernah ada sebelumnya, sehingga dapat menghindarkan kelompok penganut yang kekal dari mempersaingkan cara melakukan kegiatan ilmiah. Sementara itu, pencapaian tersebut cukup terbuka sehingga segala macam masalah diserahkan kepada kelompok pemraktek yang ditetapkan kembali untuk dipecahkan. Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005…hal 10. 
[6] Pendekatan Kuhn terhadap Ilmu pada dasarnya adalah reaksi terhadap tafsir Whig atas sejarah, bahwa sejarah adalah progresi kebebasan linier yang kian meningkat dan berpuncak pada masa kini. Sejarah Whig membaca masa silam dengan arah kebelakang dan menjelaskan masa kini sebagai produk kumulatif pencapaian masa silam. Penolakan terhadap sejarah Whig dalam bidang sejarah ilmu, dimulai antara lain oleh Alexander Koyre, yang terhadapnya Kuhn mengakui hutang intelektual yang besar. Kuhn menyadari bahwa untuk menyadari bagaimana suatu tradisi historis berkembang, orang harus memahami perilaku sosial dari mereka yang terlibat membentuk tradisi. Pemahaman inilah, tulis Barry Barnesyang berpadu dengan kepekaan dan sensibilitas historisnya yang menjadi sumber orisinaitas  dan arti penting karya Kuhn. Pelestarian suatu bentuk kebudayaan mengandaikan mekanisme-mekanismesosialisasi dan penyebaran pengetahuan, prosedur-prosedur untuk menunjukkan lingkup makna dan representasi yang diterima, metode-metode untuk meratifikasi inovasi-inovasi yang telah diterima dan member mereka cap legitimasi. Semua itu harus dijaga keberlangsungannya oleh para anggota kebudayaan itu sendiri, jika konsep-konsep dan representasi hendak dipertahankan eksistensinya. Jika ada bentuk budaya yang tetap bertahan, pasti ada pula sumber-sumber otoritas dan control kognitif. Kuhn menampilkan riset ilmiah sebagai produk dari suatu interaksi yang kompleks antara komunitas peneliti, tradisi otoritatif, dan lingkungannya. Dalam keseluruhan proses itu rasio dan logika sama sekali bukan satu-satunya criteria bagi kemajuan dalam pengetahuan ilmiah. Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002…hal 29-30. 


BAB IV
KESIMPULAN
Dalam perkembangan sejarahnya,  ilmu dipandang sebagai aktivitas yang murni dan tidak terkait  dengan kekuasn dan ideologi serta bebas dari nilai subyektivitas. Dan kepercayaan inipun sampai sekarang masih banyak diyakini oleh banyak orang. Pengetahuan yang ada dalam teori juga banyak diyakini keobyektivannya baik dalam ilmu alam maupun Ilmu sosial. Tetapi seiring dengan perkembangan filsafat keilmuan, asumsi tersebut banyak tekikis dan menyatakan bahwa sebuah teori pengetahuan sangat terkait erat dengan subyektivitas ilmuwan yang menemukan sebuah teori dan juga terkait dengan ideology yang melatarbelakangi corak berfikirnya. Seorang ilmuwan yang corak berfikirnya positivistic pasti hasil penelitiannya tidak akan jauh dari prosedur yang positivis, begitupun dengan yang lainnya.
Dalam buku Structure Thomas Kuhn juga mengkritik tentang bebas nilai dari sebuah ilmu pengetahuan. Ia menyatakan bahwa ilmuwan ketika meneliti sesuatu dan menciptakan teori ada “paradigma” yang mendasari proses dalam penelitiannya. Paradigma ini adalah menggambarkan system keyakinan yang mendasari upaya pemecahan teka-teki.  Lingkup paradigm biasanya persoalan Aspek-aspek alam yang mana yang biasanya dilaporkan oleh para ilmuwan itu? Apa yang menentukan pilihan mereka? Dan karena kebanyakan pengamatan ilmiah itu memerlukan banyak waktu, perlengkapan, dan uang, apa yang memotivasi para ilmuwan untuk meneruskan pilihan itu sampai memperoleh kesimpulan?”. Paradigma lama bertarung dengan paradigm baru yang lebih rasional dan maju. Paradigm baru ini lalu menjadi mapan dan usang  lalu digantikan dengan paradigma  yang lebih baru, begitupun seterusnya.       
 Daftar Pustaka
Sardar, Ziauddin, Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu, Yogyakarta:         Penerbit Jendela, 2002.
Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolutions, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.