Jumat, 15 April 2011

Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun


 BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah.
Jika diibaratkan sebuah mobil, sejarah adalah merupakan kaca spion yang sangat urgen ketika seorang pengendara menjalankan kendaraannya. Pengendara harus memperhatikan kaca spion ketika hendak berbelok agar tidak terjadi kecelakaan. Hukum sejarah adalah merupakan aturan yang harus diperhatikan ketika seorang politikus hendak melakukan maneuver politik, atau seorang sejarahwan ingin mengetahui sebab akibat dari suatu peristiwa. Sejarah seharusnya bukan hanya catatan peristiwa di sebuah ruang waktu, tetapi harus mencakup emosi, rasionalitas, dan motif-motif yang mempengaruhi tindakan social manusia.
Banyak filosof sejarah berusaha membaca arah sejarah dalam kenyataan yang dapat diobservasi. Bertitik tolak dari itu mereka juga mengungkapkan masa depan kiranya apa yang akan terjadi. Dan ketika memperhatikan fakta-fakta sejarah seorang filosof akan menemukan hukum yang menggerakkan sejarah sehingga mereka bisa memahami arah sejarah. Tetapi akhirnya ia harus berusaha menentukan garis-garis pokok sejarah dengan memperhatikan hakikat manusia dan sejarahnya sendiri.
Dalam membaca sejarah, filosof banyak berbeda pendapat mengenai corak sejarah yang ada. Misalnya Hegel[1],dia memahami sejarah adalah progress dan sebagai gerak kearah rasionalitas dan kebebasan yang makin besar. Hegel mengambil contoh Revolusi prancis dalam menjelaskan filsafat sejarahnya. Sebelum revolusi Prancis Negara pada waktu itu dikuasai oleh sistem feodal raja Louis XI yang tidak rasional dan menegasi kebebasan. Maka Negara pasca revolusi prancis merupakan pengejawantahan rasionalitas (melawan kesewenangan) dan kebebasan (pengakuan hak asasi manusia).[2]


[1] Hegel adalah filosof Idealis Jerman. Lahir di Stutgart 7 agustus 1770. Di usia 18 tahun dia menjadi mahasiswa teologi di Universitas Tubingen dan bertemu dengan schelling dan penyair Hollderin. Tahun 801 mengajar di Universitas Jena. Reputasinya meningkat sebagai seorang filosof ketika ia mengajar di Universitas Heidelberg. Hegel meninggal tahun 1831. F.Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007…hal 172-174.
[2] Hegel memandang Negara modern sebagai realisasi kerasionalan dan kebebasan dan ia berpolemik melawan mereka yang masih tetap mengaatasnamakan suara hati, menolak taat pada undang-undang. Menurut hegel suara hati yang wajar akan menemukan dalam struktur Negara modern pola-pola kehidupan yang justru menunjang kebebasan. Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionis, Jakarta: Gramedia, 2005…hal 60.


Selain Hegel filosof yang menganalisis tentang hukum sejarah adalah Karl Marx.[3] Ia mengataka dalam manifesto komunis bahwa sejarah[4] adalah progress dan terjadi karena pertentangan kelas antara yang menguasai alat produksi dan yang tidak menguasai alat produksi, tuan dan budak bangsawan dan rakyat kecil mandor dan buruh. Mereka melakukan peperangan yang terus menerus dan turun temurun. [5]
Dalam sejarah Islam, filosof yang membicarakan tentang sejarah dan masyarakat adalah Ibnu Khaldun. Dalam menganalisis tentang sejarah dan aspek-aspek yang mempengaruhinya, Ibnu khaldun bukan Cuma menginterpretasikan dan terlepas dari kondisi riil sejarah tetapi Ibnu khaldun juga terlibat dalam tindakan kesejarahan itu sendiri, misalnya keterlibatannya dalam intrik politik selain melakukan pengamatan secara langsung dalam menuliskan tesis kesejarahannya. Dia menyatakan sajarah yang terjadi dalam masyarakat berbentuk spiral, kejatuhan dan bangunnya peradaban seperti kelahiran dan kematian manusia. Tetapi ketika terjadi kematian sejarah tidak mulai dari awal lagi tetapi meneruskan apa yang telah dicapai manusia sebelumnya. Jadi ada perpaduan antara sejarah yang bersifat sirkel dan sejarah yang bersifat progress.
Rumusan Masalah.
Menganalisis dari latar belakang masalah diatas makalah ini selain membicarakan tentang Ibnu Khaldun dan karya-karyanya juga menganalisis tentang  proses terbentuknya sejarah, kebudayaan dan peradaban yang terjadi dalam masyarakat secara global. Lingkup pembahasan dalam makalah ini hanya focus pada konsep sejarah, kebudayaan dan peradaban Ibnu Khaldun.


[3] Karl Marx lahir tahun 1818 di kota Trier. Ayahnya seorang yahudi yang kemudian pindah ke protestan agar dapat menjadi pegawai negeri. Setelah lulus dari Gymnasium ayahnya menyuruh melanjutkan studi jurusan hukum. Lalu Marx pindah ke Berlin dan belajar filsafat. Di Berlin ia bergabung dengan Club Doctor pengikut Hegelian kiri. Lalu Marx pindah ke Prancis dan bertemu dengan tokoh-tokoh sosialis  dan Friedrich Engels. Tahun 1845 Marx pindah ke Brussels dan karena diusir oleh pemerintah Prancis. Selama Revolusi 1848 Marx kembali ke Jerman tetapi akhirnya revolusi gagal dan Marx pindah ke London dan menetap disana sampai meninggal. Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionis. Jakarta: Gramedia, 2005.
[4] Bagi Marx, sejarah adalah proses penciptaan dan pemuasan serta penciptaan ulang dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang terus menerus. Inilah yang membedakan manusia dari binatang yang kebutuhannya telah pasti tetap dan tidak berubah. Inilah yang menyebabkan mengapa kerja, yaitu antar perubahan kreatif antara mansia dan lingkungan alamnya, merupakan landasan dari masyarakat manusia. Hubungan antara individu dengan lingkungan materiilnya ditengahi oleh ciri-ciri khas tertentu dalam masyarakat dimana orang menjadi anggotanya.  Anthony Giddens. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: UI Press. 2007. Hal...27.
[5] C.Wright Mills, Kaum Marxis, Ide-Ide Dasar dan Sejarah Perkembangannya, Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2003… Hal 39.


BAB II
BIOGRAFI  DAN KARYA IBNU KHALDUN
Abdurrahman bin Muhammadbin Muhammad bin Khaldun Al Hadrami atau Abu Zaid Abdurrahman bin Khaldun terkenal dengan Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunis pada 1332 M. Ia keturunan orang-orang yang pernah menjabat kedudukan penting dalam pemerintahan baik di Spanyol maupun di Tunis setelah orang-orang Islam spanyol mengungsi ke Afrika Utara. Ayahnya seorang yang sangat luas pengetahuannya.
Pada diri Ibnu Khaldun pun bercampur pemikiran yang menempatkan Ia seorang ilmuwan disatu pihak dan seorang pejabat pemerintahan dipihak lain baik di Spanyol maupun di Afrika Utara. Pengembaraannya menyampaikannya ke daerah-daerah ini dan juga ke Timur Tengah, seperti Suriah dimana ia sebagai pejabat kerajaan Mesir. Di Mesir ia beberapa kali menjadi hakim sampai dengan wafatnya pada tahun 1406 M.[6]
            Kitabnya yang terkenal adalah Muqaddimah,[7] sebuah pengantar pada kitab yang lebih luas lagi yaitu Al I’bar [8]yang terdiri dari enam jilid. Kitab ini mula-mula ditulis di Qal’at ibnu Salamah yaitu sebuah desa yang terletak diantara Tunis dan Fez[9] dan diselesaikan di Tunis. Pada kesempatan selanjutnya ketika kitab ini telah selesai maka ditambahkannya perbaikan dan perluasan terutama contoh-contoh untuk memperkuat teorinya. Teori ini terutama diletakkannya dalam Muqaddimah dan boleh dikatakan teori ini sebenarnya yang sebenarnya leebih penting sebagai warisan untuk zaman modern kini daripada yang diterakan dalam kitab pokok yaitu kitab Al I’bar yang lebih merupakan sejarah peristiwa-peristiwa.[10]


[6] Deliar Noer, Pemikiran Politik di  Negeri Barat, Bandung: Mizan, 1999…hal 69.
[7] Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Yunani menjadi Prolegomenon jilid pertama dari kitab Al I’bar atau tentang sejarah universal. Ahli sejarah Inggris, Arnold J. Toynbee menyebut Muqaddimah sebagai filsafat sejarah yang tidak diragukan lagi. Diyan Yulianto& M.S. Rohman, Sumbangan-sumbangan Karya Sains Islam Abad Pertengahan, Yogyakarta: Diva Press…hal 256.
[8] Nama lengkap dari kitab ini adalah Kitab Al I’bar wa Diwan al Mubtada’ wal Khabar fi ayyam al Arab wa al ajam wa al barbar wa man asharahum min dzawi al sultan al akbar. Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995…hal 22.
[9] Di Fez, ia menetap di istana sultan Abu Inan yang sedang merekrut para sarjana untuk dewan ilmiahnya yang baru. Salah seorang sarjana yang dijumpai Ibnu Khaldun adalah Al Syarif Al Tilmisani Al Alwi (w.1370) yang dipujinya tanpa ragu-ragu. Selain yurisprudensi, teologi dan ilmu bahasa, menurut laporan sarjana ini memperkenalkan kepada salah seorang guru Ibnu Khaldun, Ibnu Abdul Salam. Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987…hal 442-443.
[10] Deliar Noer, Pemikiran Politik di  Negeri Barat, Bandung: Mizan, 1999..hal 69.


Karya lain dari Ibnu Khaldun adalah Al Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatu Gharban wa Syarqan. Karya ini dipandang sebagai semacam otobiografi. Didalamnya Ibnu khaldun menguraikan sebagian peristiwa yang ia alami dalam kehidupannya, Qasidah-Qasidah yang ia susun dan surat-surat yang ia kirimkan kepada tokoh-tokoh penting pada masanya atau yang ia terima dari mereka. Dalam karya ini ia tidak segan segan menyingkap berbagai peristiwa dimana ia ikut terlibat didalamnya. Misalnya persekongkolannya menentang seorang sultan[11] yang menjadi majikannya sebelumnya atau pembelotannya terhadap tokoh-tokoh guna memperoleh apa yang diinginkannya dan apabila tujuannya tidak tercapai ia tidak akan tanggung-tangggung untuk memberontak. Karya ini juga membicarakan watak kehidupan politik dunia Islam dan watak kehidupan politik wilayah Magrib.[12]
Karya tentang teologi dan metafisika Ibnu khaldun adalah Lubab al Muhashshal fi Ushu al Din yang terdiri dari empat bagian. Pertama, tinjauan dan hasil yang bercorak aksiomatis. Kedua, uraian tentang yang wajib, yang mumkin, tentang substansi dan aksiden. Ketiga, tentang masalah ketuhanan seperti wajibul wujud bagi Allah, determinisme, kemampuan untuk berupaya, Qadha dan Qadar. Keempat adalah uraian tentang kenabian. Selain tentang pembahasa diatas Ibnu Khalddun juga menulis buku tentang tasawwuf yang berjudul Syifa’ al sa’il li Tahdzib al Masa’il. Karya tersebut memilah antara tasawwuf dan ilmu syari’ah dan menguraikan hubungan antara tasawwuf dan ilmu  jiwa.[13]


[11] Peristiwa ini terjadi pada tahun 757 H, yaitu persekongkolan antara Ibnu Khaldun dan pangeran Muhammad penguasa bijayah untuk merebut kembali bijayah dari kekuasaan Abi ‘Inan. Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995…hal 11.
[12] Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995…hal 38.
[13] Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995…hal 41.


BAB III
KONSEP SEJARAH DAN BUDAYA DAN  PERADABAN DALAM  PERSPEKTIF
 IBNU KHALDUN
A.    Konsep Sejarah.
Dalam pemikiran Ibnu Khaldun sejarah dan Fenomena social tunduk pada hukum perkembangan. Konsep gerak dan perkembangan terkandung pada segala sesuatu,seperti ibnu khaldun mencontohkan umur Negara dengan kehidupan manusia. Perkembangan menurut Ibnu khaldun mempunyai corak dialektis yakni sejak penciptaannya dalam diri makhluk hidup telah terkandung benih kematian dan perkembangan yang tidak dapat dihentikan menuju kematian. Persoalan dialektis dari kehidupan dan kematian atau kesatuan dan pertentangan antara keduanya adalah persoalan yang erat dengan hukum perkembangan. Kenyataan sebagai keseluruhan menurut Ibnu Khaldun tidaklah timbul dari tumpukan hal-hal yang berserakan dan bercerai-berai. Tetapi ia merupakan kumpulan fenomena yang sejenis dan satu sama lain saling berjalin serta mempunyai dampak timbal balik.[14]
Perkembangan sejarah menurut Ibnu khaldun tidaklah berupa lingkaran dan garis lurus,melainkan berbentuk spiral.[15] Sebagai contoh Negara, dimanapun setiap kali mencapai puncak kejayaan dan kebudayaannya akan memasuki masa senja dan mulai mengalami keruntuhan untuk digantikan Negara baru. Negara baru ini tidak bermula dari nol, tetapi mengambil peninggalan Negara lama,melengkapinya, menciptakan  kebudayaan yang lebih maju yang berbeda dari kebudayaan Negara sebelumnya, meski perbedaan ini tidak Nampak sehingga sulit diamati.[16] Namun dengan berulangkalinya daur ini berlangsung perbedaan ini akan makin jelas:
“Bilamana mereka memerintah suatu Negara dan pemerintahan maka tidak boleh tidak mereka akan menggunakan tradisi orang-orang sebelum mereka. Mereka akan banyak menimba dari tradisi itu dan mereka tidak akan melupakan tradisi generasi mereka. Meski demikian ada perbedaan antara tradisi Negara itu dengan tradisi generasi sebelumnya.  Kemudian apabila muncul Negara lain setelah mereka, tradisipuin bercampur dengan tradisi mereka dan sebagian tradisinya bertentangan dengan tradisi mereka. Perbedaan tradisi Negara yang terakhir ini semakin berbeda dari tradisi generasi yang pertama. Dengan berlalunya waktu, sedikit demi sedikit terjadi perubahan dan akhirnya berkesudahan dengan perbedaan secara total”. [17]


[14] Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995 …hal 80.
[15] Dalam pemikiran kaum Marxis, sejarah adalah progress,linier karena tidak ada pengulangan didalam sejarah. Setiap peristiwa meskipun kelihatan sama dengan peristiwa masa lampau tetapi peristiwa tersebut pasti mempunyai kemajuan-kemajuan baik dalam hal perkembangan rasio masyarakat, ilmu pengetahuan maupun teknik yang terkandung dalam peristiwa tersebut. Kehancuran sebuah Negara dimasa lampau tidak sama dengan runtuhnya sebuah Negara pada zaman modern karena ada perbedaan pemikiran politik yang melingkupi kedua peristiwa tersebut.
[16] Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995…hal 80-81.
[17] Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995…hal  81.


Dalam teori dialektis, tidak ada sesuatupun yang merupakan hal yang paling akhir. Sebab menurut teori ini segala sesuatu pada akhirnya akan hancur dan tidak ada yang lepas dari kehancuran kecualui perkembangan tetap itu sendiri. Perkembangan sendiri merupakan proses pendakian yang tiada henti dari bawah ke atas dan pergantian yang lama oleh yang baru mengharuskan peniadaan yang lama. Setiap fase baru sendiri selalu lebih tinggi dari fase sebelumnya sebab fase yang baru merupakan unsure-unsur positif fenomena lama yang tetap bertahan dan dilengkapi hal-hal yang baru. Jadi perkembangan baik dalam konteks alam maupun social mengikuti garis mendaki dari bawah yang sederhana menuju ke atas yang lebih kompleks dan umumnya berbentuk spiral.[18]
Sejarah dalam perspektif Ibnu Khaldun seharusnya bukan Cuma catatan tentang peristiwa-peristiwa, tetapi juga harus menjelaskan tentang hukum-hukum yang membentuk gerak sejarah. Dalam pendahuluan buku Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa dengan membaca karya sejarahwan dan melihat karya tersebut penuh dengan catatan yang berhubungan dengan fakta-fakta yang tidak bisa dinalar seperti yang dikemukakan, beliau memutuskan untuk  menulis buku sejarahnya sendiri yang beliau paparkan sebagai berikut.
“Berkat buku ini saya telah menyingkap selubung yang menutupi syarat-syarat bagi munculnya generasi demi generasi, dan membaginya dalan bab-bab yang berkaitan dengan penjelasan sejarah dan makna peristiwa-peristiwa. Didalamnya saya telah jelaskan sebab-sebab yang inheren pada kelahiran peradaban dan dinasti…singkatnya, ini merupakan sebuah penjelasan atas berbagai kondisi peradaban dan urbanisasi, berdasarkan pada karakteristik- karakteristik yang pantas bagi orang yang hidup dalam masyarakatnya. Penjelasan ini membiarkan pembaca menikmati pengetahuan tentang sebab-sebab kelahiran dan evolusi hasil-hasil peradaban dan memahami bagaimana pendiri-pendiri dinasti membangun kekuasaan mereka”. [19]


[18] Karl marx menggabungkan teori Hegel mangenai pergantian pola-pola budaya dengan perjuangan untuk eksistensi. Hasilnya adalah keterangan mengenai perrubahaan didalam sejarah yang dikatakannya ditentukan secara materialistis. Penguasaan terhadap cara produksi menentukan kelas mana dan sesuai dengan itu, pola piker mana yang akan mendominasi  pada suatu saat tertentu, tetapi pertarungan yang terus menerus diantara kelas-kelas pada akhirnya akan menghasilkan kemenangan pihak proletariat. Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press,2006…hal 187.
[19] Muhammed Abid Al Jabiri, Kritik Pemikiran Islam, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003…hal 172-173. 


kita bisa melihat  dengan gamblang  disini bahwa kita bersentuhan dengan sebuah proyek yang mengubah perjalanan sejarahnya menjadi suatu ilmu pengetahuan yang didasarkan pada demonstrasi. Proyek ini mengangkat sejarah yang waktu itu tidak lebih sebuah latihan dari mengumpulkan berbagai catatan tentang perang dan dinasti-dinasti seperti juga tentang abad-abad paling awal. Dengan cara seperti itu sehingga banyak pernyataan yang dibesar-besarkan yang suka dikutip orang, sebagai contoh menuju suatu tingkat praktek ilmiah yang didasarkan pada pengujian yang ketat terhadap catatan-catatan, penjelasan tentang perbuatatn-perbuatan dan asal mereka melalui kausalitas dan pengetahuan mendalam tentang “bagaimana “ dan “kenapa” fakta-fakta tersebut. Sehingga dipahami bahwa sejarah kemudian menjadi ilmu pengetahuan demonstrative : menurut Ibnu Khaldun “ia memiliki dasar dan akar  dalam kebijaksanaan (filsafat) dan benar-benar layak dianggap sebagai salah satu dari ilmu pengetahuan”.
Bagaimana orang bisa mengeluarkan suatu ilmu pengetahuan dari sejarah ketika obyek sejarah berhubungan dengan fakta-fakta spesifik yang pada waktu itu ditulis dalam kondisi ruang waktu  khusus dan masing-masing memiliki sebab-sebab dekat dan jauhnya. Ibnu Khaldoun mengatakan bahwa jika sejarah sungguh-sungguh tersusun dari rangkaian “gambaran peristiwa-peristiwa yang merupakan fakta-fakta spesifik adalah tidak mungkin mengambil langkah pertama pada sebuah pendekatan yang mampu menaikkan sejarah ke tingkat ilmu pengetahuan. Yang memungkinkan adalah jika kita berhasil mendapatkan suatu keterangan menurut realitas sehingga keterangan tersebut tidak lagi sekedar memberitahu tentang situasi ruang dan waktu kejadian yang dilaporkan, melainkan juga sebab-sebab yang menjadikannya mungkin terjadi. Dan bahwa catatan tersebut merepresentasikan kejadian pada kita dalam suatu bentuk yang bisa dimengerti secara rasional.  
Tugas utama sejarahwan yang ingin membuat sejarah ilmiah adalah membangun sebuah kriteria yang tepat dimana ia akan mengevaluasi hal-hal yang terekam dan membedakannya mana yang sesuai dengan realitas mana yang tidak. Criteria ini barada dalam pengatahuan tentang sifat-sifat alami peradaban.[20]


[20] Muhammed Abid Al Jabiri, Kritik Pemikiran Islam, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003…hal 174.

B.    Faktor yang Mempengaruhi Sejarah, Kebudayaan dan Peradaban.
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam selalu berkembang, termasuk diantaranya Negara, adat istiadat, agama dan profesi. Dan ibnu khaldun menyatakan “ ketahuilah perbedaan agama mereka timbul karena penghidupan”. Ini berarti bahwa kegiatan ekonomislah yang menentukan bentuk kehidupan.[21] Perbedaan antara masyarakat primitive dan masyarakat maju pada dasarnya timbul akibat perbedaan bentuk produksi. Jadi kalau masyarakat primitive mendasarkan diri pada penggarapan atau pemeliharaan tanah dan bertani, masyarakat maju mendasarkan diri pada industri dan perdagangan. Seperti yang di nyatakan dalam teks :
“Diantara mereka ada yang mencurahkan tenaganya dalam pertanian, penyebaran benih tumbuhan dan bercocok tanam. Ada yang memelihara ternak, seperti domba, lembu, kambing, lebah dan ulat sutera dengan tujuan untuk mendayagunakan hasilnya. Untuk mencukupi kebutuhannya mereka yang berusaha pada bidang pertanian dan peternakan hewan terpaksa pergi ketempat lain yang masih terbuka luas, yang tidak terdapat di kota, mencari lahan sawah, penggembalaan perkebunan, dan sebagainya. Oleh karena itu orang semacam ini terpaksa memilih kehidupan mengembara bersatu, bekerjasama dalam ekonomi. Mereka memiliki makanan, tempat tinggal dan tempat berteduh hanya sekedar untuk keperluan hidup yang pokok dan tidak berlebih-lebihan.
Bilamana taraf hidup mereka meningkat dan mereka menikmati lebih dari kebutuhan pokok maka akan timbullah keinginan untuk ketenangan dan ketentraman . oleh karena itu mereka akan bekerjasama untuk mendapatkan barang-barang yang berlebi-lebihan itu. Makanan dan pakaian mereka akan tambah banyak dan bagus. Mereka akan memperbesar rumah-rumah mereka dan merencanakan kota-kotanya untuk pertahanan. Keadaan yang semakin baik akan membawa mereka pada kebiasaan bermewah-mewah, lalu menyebabkan penyempurnaan yang luarbiasa dalam cara memasak dan menyediakan makanan, dalam memilih pakaian yang bagus dari sutera yang halus, membangun gedung yang megah dan istana yang indah dan menghias semuanya itu seba mewah. Pada peringkat ini industry lalu berkembang dan sampai pada puncaknya. Istana-istana dan bangunan-bangunan yang megah didirikan dan dihiasi serba megah dan mewah, air disalurkan ke gedung-gedung dan istana- istana dan terlihat bermacam-macam- corak ragam mode pakaian, perabotan rumah, kendaraan dan alat-alat rumah tangga lainnya. Inilah orang-orang kota yang hidup dari industri dan perdagangan”.[22]


[21] Pemikiran Ibnu Khaldun ini sejalan dengan pemikiran Marx yang menyatakan bahwa ekonomi (kebutuhan) adalah merupakan basic struktur dari peradaban umat manusia, dalam artian yang membentuk seluruh tata kehidupan manusia, baik itu agama, politik, system social, budaya, ilmu pengetahuan, Negara dan lain sebagainya. Kebutuhan ini yang dimaksud adalah kebutuhan makan, minum, sex, keamanan dan sebagainya yang menurut Karl marx adalah merupakan kebutuhan material manusia yang harus terpenuhi. Proses pemenuhan kebutuhan ini nantinya mengimplikasikan kerja sebagai realisasinya. Filsafat kerja Karl Marx inilah yang nantinya menjadi basis fundamental dari terbentuknya tatanan sejarah, budaya, dan peradaban umat manusia.   
[22] Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995..hal 85. 


Dari pemaparan teks muqaddimah diatas Ibnu khaldun menyatakan, sejarah, budaya dan peradaban dan proses berpikir masyarakat  dikendalikan oleh proses ekonomi. Dalam menguraikan dampak bentuk produksi dal kehidupan ekonomi pada kehidupan manusia, Ibnu Khaldun menyatakan:
“banyak orang-orang kota yang demikian dalamya tenggelam dalam kemewahan dunia, mencari kesenangan dunia , bebas melabuhkan hawa nafsunya sehingga jiwa mereka berlumur dengan kejahatan dan jauh dari kelakuan baik…adapun orang-orang desa sekalipun menyukai kehidupan duniawi, terpaksa membatasi diri pada hal yang sangat primer saja. Mereka tidak berusaha memperturutkan keinginan untuk bermewah-mewah dan bersukaria. Adat kebiasaan dan perbuatan mereka bersahaja, sehingga tidak menjadi sasaran aib perbuatan jahat dan durhaka dibanding orang-orang kota.
Selain system ekonomi, menurut Ibnu Khaldun kondisi alam juga mempengaruhi dampak pada individu dan masyarakat. Menurut Ibnu Khaldun lingkungan fisik besar dampaknya terhadap masyarakat manusia sebab sampai kebatas tertentu watak masyarakat dipengaruhi bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil bumi yang dihasilkannya, bahan mentah yang dihasilkannya. Ini berarti alam membatasi kegiatan manusia dan menciptakan batas-batas apa-apa yang ia lakukan. Selain itu alam juga mempengaruhi sifat-sifat fisik dan psikis manusia dan juga mempengaruhi kehidupan budayanya. Atas dasar ini Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa kebudayaan tidak mungkin ada kecuali dikawasan-kawasan tertentu, tidak yang lainnya. Dalam sebuah teks Ibnu Khaldun menyatakan:
“Inilah sebabnya maka kita dapati ilmu pengetahuan, industry, bangunan-bangunan, pakaian makanan dan buah-buahan bahkan hewan-hewan dan segala apa yang hidup di tiga kawasan sedang itu memiliki cirri-ciri sedang dan sederhana. Manusia- mansia yang mendiami kawasan tersebut sedang pula postur tubuhhnya, warna kulaintya, sopan santunnya dan juga agamanya. Sebagian besar Nabi- nabi turun didaerah itu. Dan kita tidak pernah ada wahyu di turunkan diwilayah utara da selatan, karena para nabi dan utusan Allah hanya diutus pad aumat manusia yang paling sempurna, baik tubuh maupun pikirannya yaitu umat yang lebih bisa menerima ajaran yang dibawa para nabi dan utusan itu…”
“Dan penduduk dikawasan ini lebih mendekati kesempurnaan karena kesederhanaan mereka. Mereka sederhana dari segi pemukiman, pakaian , makanan dan pekerjaan. Rumah- rumah mereka dibangun dari batu dan dihiasi dengan hasil kerajinan. Mereka banyak mempergunakan alat-alat, perkakas dan memiliki banyakk logam seperti emas perak, besi, tembaga, timah hitam dan timah putih. Dalam perdagangan sehari-hari mereka meempergunakan mata uang yang dibuat dari dua logam berharga. Mereka menjauhi sifat berlebihan dalam gerak dan pekerjaan mereka…”
Adapun penduduk yang berada di kawasan yang jauh di ujung seperti penduduk kawasan kesatu,kedua, keenam dan ketujuh, adalah jauh dari sederhana dalam segala hal. Tempat kediaman mereka terbuat dari tanah liat atau bamboo. Makanan mereka terdiri dari jawawut dan buah-buahan liar. Pakaian mereka terbuat dari daun atau kulit. Sebagian mereka malah pergi kesana kemari tanpa busana. Buah-buahan dan hasil utama tanah mereka adalah aneh dan jauh dari memadai. Mereka mempergunakan tembaga,besi atau kulit sebagai ganti emas dan perak dalam jual beli. Watak mereka sangat dekat dengan binatang buas…pada umumnya mereka tidak mengetahui kenabian dan tidak mengikuti sedikitpun hokum agama kecuali sebagian kecil dari mereka yang hidup berbatasan dengan kawasan yang beriklim sedang…dengan pengecualian ini maka semua penduduk dari kawasan utara dan selatan tidak mengenal pengetahuan dan agama dan hidup lebih menyerupai hewan daripada manusia…”
“Kini menjadi jelas bahwa anggapan hitamnya kulit bangsa Negro karena mereka keturunan Ham yang merupakan pertanda kebodohan yang sangat, sebenarnya adalah disebabkan kodrat panas dan dingin yang ada disana yang juga mempengaruhi udara dan hewan yang hidup di situ. Kulit yang hitam juga ditemukan pada penduduk dikawasan pertama dan kedua sejalan dengan panasnya udara di kedua kawasan itu sebagai akibat sangat panasnya kawasan selatan. Dikedua itu dua kali setahun dalam jangka waktu yang berdekatan, matahari mencapai puncaknya. Lebih-lebih lagi matahari bersinar diatas kepala dalam hamper seluruh musim, sinarnya begitu cerah dan membakar mereka sehingga kulit mereka menjadi hitam. Di ujung lain bumi ini kita mendapati kawasan utara ketujuh dan keenam yang kulit penduduknya putih disebabkan dinginnya udara disekitar mereka. Di kawasan ini matahari hamper selalu dideat horizon dan tidak pernah mencapai bahkan jarang sekali mencapai puncaknya. Oleh karena itu matahari member mereka panas yang sedikit hingga udara menjadi dingin sepanjang tahun. Karena itu  kulit enduduknya putih kadang pucat. Dingin yang sangat itulah yang menyebabkan birunya mata, merahnya rambut, bintik pada kulit penduduk kawasan itu…kadang-kadang kita mendapatkan orang sudan, penduduk kawasan selatan, mendiami kawasan iklim keempat yang sedang atau ketujuh yang cenderung berwarna putih. Dengan bertahapbersama perjalanan masa menjadi putihlah warna anak cucu mereka. Sebaliknya ada penduduk dari kawasan utara atau iklim keempat yang mendiami kawasan selatan, lama kelamaan warna kulit anak cucu mereka menjadi hitam. Hal seperti itu menjadi bukti bahwa warna itu mengikuti sifat udara”.[23]


[23] Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995..hal  91.


“Sebagaimana telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan, bahwa keriangan dan kegembiraan itu disebabkan berkembang dan meluasnya jiwa kehewanan (dalam tubuh) dan sebaliknya kesedihan disebabkan mengecil dan mengerutnya jiwa kehewanan itu. Demikian juga telah dibuktikn bahwa panas memuaikan hawa dan uap, panas memasuki hawa dan uap itu dan menambah vulumenya. Karena itu orang yang sedikit mabuk menjadi gembira karena daya panas yang diberikan alkohol yang memasuki uap jiwa kehewanan dalam hati, mengembangkan uap itu, lalu menimbulkan kegembiraan ...demikian juga kurang lebih penduduk pinggir laut, disebabkan panasnya udara yang ditimbulkan oleh pantulan sinar  dari permukaan laut, lebih dangkal pikirannya dan lebih gembira sifatnya daripada penduduk dataran tinggi yang dingin dan penduduk  pegunungan”.[24]
Dalam teks diatas disebutkan tentang dampak iklim terhadap tubuh, moral, kegiatan, dan kebudayaan manusia. Iklim yang sedang membuat orang menjadi moderat dalam segala hal, baik tubuh, warna kulit, watak dan moral mereka. Tidak hanya ini, malah para nabi juga hanya diturunkan di kawasan-kawasan yang sedang iklimnya. Alas an diturunkannya para nabi dikawasan itu menurut Ibnu Khaldun adalah karena para utusan dan  nabi hanya diturunkan pada umat yang paling sempurna.[25]
Selain factor ekonomi dan kondisi alam Ibnu khaldun menyatakan bahwa agama mempunya peran penting dalam proses pembentukan sejarah dan peradaban manusia. Karena agama mempunyai kekuatan pengikat dalam masyarakat yang plural karena kesamaan ideology, sepeti yang dinyatakan dalam muqaddimahnya:
“semangat agama dapat meredakan pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh salah satu anggota dari golongan itu terhadap anggota lainnya dan menuntun mereka kearah kebenaran. Bilamana sekali perhatian mereka terpusat pada kebenaran maka tak ada sesuatu yang dapat menghalangi mereka. Sebab pandangan mereka adalah sama dan tujuan yang mereka kejar adalah satu, sehingga membuat mereka berjuang sampai mati…inilah yang terjadi pada bangsa Arab sewaktu penaklukkan Islam yang mula-mula..”.[26]
“Bangsa Arab adalah bangsa yang tidak cocok mempunyai kekuasaan politik…sebabnya ialah Karena mereka lebih bersifat pengembara dibanding dengan kelompok lainnya, lebih bebas bergerak di padang pasir, karena sederhananya dan kasarnya hidup mereka. Mereka tidak demikian membutuhkan gandum dan hasil pertanian. Hal itu membuat


[24] Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995..hal  92.
[25] Pendapat Ibnu Khaldun ini agak terlalu berani. Karena disini bisa diinterpretasikan bahwa kenabian dan juga fikiran merupakan hasil dari proses dialektika manusia dengan iklim atau alam yang melingkupi dalam artian kenabian adalah hasil dari kondisi material yang melingkupi. Sementara kawasan yang beriklim sedang baik iklim dingin maupun panas tingkah lakunya agak biadab dan ilmu pengetahuan tidak berkembang. Penduduk yang beriklim panas mempunyai sifat riang gembira serta warna kulitnya hitam, sedang penduduk yang beriklim dingin memiliki kulit yang putih dan perasaaan sedih serta gundah. Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995…hal  92.
[26] Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995..hal  99.


mereka kurang bergantung kepada orang lain dank arena itu tidak mudah tunduk pada kekuasaan. Dalam kenyataan nasib pemimpin mereka paada umumnya tergantung kepada mereka. Sebab Ashabiah mereka itulah yang mempertahankan (kelompok mereka)…mereka baru sanggup memerintah setelah agama mengubah karakter mereka, menghilangkan dan membimbing mereka sampai dapat menahan diri sendiri dan mencegah orang lain dari gangguan sesamanya…”.[27]
Menganalisa teks diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa, meskipun factor ekonomi dan kondisi alam sangat mempengaruhi terhadap tatanan masyarakat, factor keagamaan juga tidak dapat diabaikan kontribusinya dalam membentuk kondisi social. Factor kedatangan agama inilah yang nantinya mempengaruhi dan membentuk masyarakat baik dalah system hukum, social, budaya maupun sejarah.[28]   
Sesungguhnya peradaban (umran) dalam berbagai kondisinya memiliki banyak sifat alam iyang seharusnya menjadi sasaran penjelasan kembali dan tentang mana saja dari riwayat-riwayat serta perkataan orang orang terdahulu yang harus diapresiasi. Oleh karena itu kita tidak akan dapat meletakkan sejarah ke dalam wilayah nalar, yakni mengajukan representasi realitas yang ditawarkan oleh keterangan-keterangan pada konsistensi rasio, “kecuali kalau kita tahu sifat-sifat alami sebuah peradaban”. Ini merupakan langkah paling aman bagi pengujian peristiwa-peristiwa yang terekam dan bagi pembedaan antara yang benar dan yang salah. Hal ini muncul sebelum pengujian yang menggunakan metode kritik terhadap para perekam peristiwa tersebut.  Kita tidak melakukan kritik ini sampai kita meyakini bahwa keterangan itu sendiri adalah mungkin atau tidak mungkin. Jika ia tidak mungkin maka tidak ada kebutuhan apapun untuk melakukan kritik terhadap para perekam. Dengan kata lain “aturan yang diterapkan dalam membedakan yang benar dari yang salah dalam peristiwa-peristiwa ini yang dimulai dari gagasan tentang kemungkinan dan ketidakmungkinan adalah untuk menguji masyarakat manusia, yaitu peradaban. Untuk melakukannya kita harus melihat dari kondisi-kondisi yang mempengaruhinya. Dalam ilmu pengetahuan tentang  masyarakat “sifat-sifat alami peradaban merupakan proposisi umum”. Karena peristiwa-peristiwa yang terjadi karena kondisi alam yang cocok dengan peradaban. Semua peristiwa itu diatur oleh prinsip kausalitas sebagaimana segala sesuatu yang lain yang diciptakan. Seperti yang dikatakan Ibnu khaldun “ segala sesuatu yang diciptakan dalam dunia, apakah itu esensinya atau perbuatan seekor binatang atau manusia semuanya membutuhkan sebab yang mendahuluinya. Karena sebab itulah yang menjadikannya tertulis dalam kontinuitas  perilaku  dan mencapai konklusinya. Saya berbicara disini tentang sebab-sebab yang dapat ditentukan akal yang berdasarkan sebab itu akal membangun rasionalitas sesuatu. Ini merupakan sebab-sebab alami yang nyata dimana akal haras menspesifikasi kelompok dan karakternya . mengenai sebab yang tak terlihat dan metafisik seperti maksud dan kehendak manusia itu merupakan fenomena psikologis yang tidak bisa dianalisis hukum sebab akibat.


[27] Zainab Al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995..hal  102.
[28] Dalam konteks masyarakat Indonesia misalnya setelah agama berdialektika dan berakulturasi dengan local masyarakat maka timbul praktek-praktek keagamaan yang nantinya menjadi ritual kebudayaan dan corak teologi dalam masyarakat Indonesia. Misalnya di Jawa ada Islam jawa yang sangat lekat dengan tradisi animisme (peringatan tujuh hari, seratus hari,tradisi haul dan sebagainya) atau di Nusa tenggara barat ada tradisi Islam Watu Telu, dimana sholat lima waktu diringkas menjadi tiga waktu.  


Ada  beberapa kejadian yang merupakan bagian dari sifat alami peradaban yang secara intrinsik berhubungan dengannya, pada tingkat tertentu ditentukan oleh hukum yang diwahyukan.  Ibnu khaldun menjustifikasi ketentuan ketentuan hukum berkenaan dengan peradaban dengan pemerintah dan dengan aparat-aparat Negara dengan menggunakan fakta bahwa mereka berasal dari maksud “sang legislator”. Rasionalitas mereka terletak pada keinginan mereka untuk memulainya dari pertimbangan kebaikan umum (maslahah). Jadi misalnya sang legislator menentukan “keturunan quraisy” sebagai suatu syarat untuk menjadi khalifah, adalah hanya karena “solidaritas kesukuan “(ashabiah)paling patut yang bisa menjamin banyaknya jumlah masyarakat yang satu atas yang lain selama era Nabi adalah suku Quraisy.
Jika dipahami bahwa “dilahirkan dari suku Quraisy” ditempatkan sebagai sebuah syarat untuk menjadi khalifah demi mencegah konflik-konflik karena solidaritas kesukuan (Quraisy)mereka, dan banyaknya jumlah mereka dan bahwa legislator tidak mengajarkan hokum-hukum yang khusus bagi sebuah generasi saja, suatu masa atau suatu bangsa saja , maka kita akan segera nenyadari bahwa ketentuan tersebut adalah tentang kompetensi (kemampuan). Oleh karena itu kami menghubungkan keduanya dan kami menggeneralisasikan penerapan motif yang membenarkan syarat keturunan Quraisy, yakni solidaritas kesukuan.[29] Disini ditemukan bahwa yang bertanggung jawab terhadap persoalan kaum muslimin adalah kelompok yang solidaritas kesukuannya paling kuat dan superior pada persoalanpada zamannya, sehingga kelompok ini bisa memaksa kelompok lain untuk mengikuti sehingga penyatuan semua elemen tersebut membentuk suatu pertahanan yang kuat.[30]


[29] Menganalisis dari pemikiran politik Ibnu khaldun ini bisa disimpulkan bahwa, kepemimmpinan politik seharusnya diserahkan kepada figure yang paling legitimate. Figure yang paling ideal ketika membaca historisitas masyarakat arab pada waktu itu ibnu khaldun menunjuk pada suku Quraisy karena adalah mayoritas disamping pada waktu itu rasio masyarakat masih primitive, feodal dan masih terikat kuat dengan kesukuan. Ketika dikontekskan dengan kondisi modernitas, kepemimpinan seharusnya adalah diserahkan pada consensus masyarakat dan consensus masyarakat ini tetap harus memperhatikan kondisi obyektif rasio masyarakat dalam berpolitik baik rasio itu terbentuk oleh factor agama, budaya dan sebagainya. Kepemimpinan akan sangat tidak efektif ketika berlawanan dengan rasio masyarakat.
[30]Dan begitulah yang dikehendaki oleh sifat-sifat alami peradaban ‘ apa yang terjadi di dunia telah menegaskan apa yang kita katakan,Hanya orang yang muncul sebagai orang terpaling (paling kuat, kuat, legitimate) pada sebuah bangsa yang mampu menyelasaikan persoalannya. Disini ketentuan Tuhan sendiri sesuai dengan sifat alami peradaban. Dan menurut Ibnu khaldun “tidak pernah ada ketentuan Tuhan yang berjalan berlawanan dengan tatanan duniawi”. Muhammed Abid Al Jabiri, Kritik Pemikiran Islam, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.


Hal diatas adalah salah satu dari sifat peradaban. Selain itu peradaban dipengaruhi oleh ekologis. Oleh karena itu kita dapat melihat bahwa dari tingkat pedusunan dimana tujuan manusia semata-mata memenenuhi kebutuhan pokok, lalu sedikit demi sedikit beerkembang menjadi masyarakat agraris dan lalu menjadi masyarakat industri.[31]  


[31] Ketika menganalisis teks-teks diatas dan jika kita membandingkan proses fase perkembangan masyarakat dalam pandangan Ibnu Khaldun, kehidupan nomaden lebih alamiah. Selain itu ia lebih kasar tabiatnya dan cenderung pada kekayaan alam. Penghuni kota lebih lembut dan lebih rawan terhadap korupsi dan perbuatan tercela. Ibnu Khaldun yakin bahwa sifat manusia pada mulanya baik lalu dirusak oleh peradaban. Fakhri,Majid, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987…hal 451.


BAB IV
KESIMPULAN
Sejarah dalam pemikiran Ibnu Khaldun bukan cuma catatan peristiwa-peristiwa dalam ruang dan waktu tetapi ada factor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu peristiwa. Sejarah manusia dipengaruhi oleh konsep gerak yang mendasari adanya hukum-hukum di alam semesta. Menurut Ibnu Khaldun, factor  yang mendasari terbentuknya sejarah,peradaban dan budaya  adalah factor produksi dalam ekonomi, factor iklim dan ekologi serta agama. Ketiga factor ini nantinya akan menjadi basis dialektika yang melahirkan tatanan social. Sejarah menurut Ibnu khaldun bersifat spiral, yaitu sejarah akan selalu berulang tetapi tidak memualai dari nol lagi, tetapi meneruskan apa yang telah dicapai oleh sejarah sebelumnya. Sebuah peradaban bisa hancur setelah mencapai puncaknya, tetapi kehancuran peradaban ini tidak langsung hilang lenyap dan mulai membentuk peradaban baru, tetapi meneruskan dan menambahi peradaban lama dengan hal-hal yang baru.
 Daftar Pustaka
Abid Al Jabiri,Muhammed, Kritik Pemikiran Islam, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta:

Fajar Pustaka Baru, 2003.

Al Khudairi,Zianab, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995
Noer,Deliar, Pemikiran Politik di  Negeri Barat, Bandung: Mizan, 1999
Yulianto,Diyan & M.S. Rohman, Sumbangan-sumbangan Karya Sains Islam Abad Pertengahan, Yogyakarta: Diva Press.
Fakhri,Majid, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987.
Gottschalk,Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press,2006.
Mills, C.Wright, Kaum Marxis, Ide-Ide Dasar dan Sejarah Perkembangannya, Yogyakarta:

pustaka Pelajar, 2003.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar